Februari 2022
Peranap, Indonesia
Karena Kita Manusia
Dunia dewasa ternyata tidak
seseru apa yang dibayangkan sewaktu kecil dulu. Saya tak pernah terfikir jika semakin
dewasa, semakin besar pula tanggung jawabnya. Walaupun bisa bebas mengambil
keputusan, namun semakin besar konsekuensi yang harus dihadapi.
Memang tak ada salahnya menjalani
hari-hari penuh keceriaan seperti anak berusia 10 tahun. Namun, belakangan saya
belajar bahwa ternyata bisa saja bahagianya kita menimbulkan kepedihan bagi
seorang yang sedang berduka. Meskipun, tidak jarang pula ditemui kondisi di
mana orang-orang tertawa bahagia tanpa peduli derita yang kita rasa.
Seperti serba salah memang.
Terlalu bodoh amat membuat kita seolah tak punya hati, namun terlalu peduli
malah menimbulkan patah hati.
Realistis. Mungkin kata itu yang pertama
kali hendak diajarkan masa dewasa ini pada manusia.
Terutama mengenai banyak sekali
hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Seperti cara orang menilai kita,
bagaimana mereka bersikap, keputusan-keputusan yang mereka ambil, serta beragam
hal lain yang benar-benar tidak bisa kita kendalikan.
Dan kebebasan, merupakan kata
kedua yang ingin diajarkan oleh dunia kepada manusia. Bahwa pada hakikatnya
menusia adalah makhluk yang bebas, ia akan cenderung memberontak dari setiap
hal yang membatasinya.
Walaupun ternyata definisi bebas
dari setiap individu akan berbeda-beda, namun dalam menuju kebebasan inilah manusia
benar-benar menjalani hidup. Sebab ini adalah masa perjuangan, perang yang
seolah tiada akhir, yang kemudian mengajarkan kita rasanya hancur dan putus
asa, masa di mana seolah dunia akan berakhir.
Masa inilah yang membuat manusia
belajar menjadi manusia. Tentang keseimbangan. Bahwa selalu menang tidaklah
baik, dan hancur bukanlah akhir. Sesederhana, kita tak akan tau nikmatnya
makanan jika perut selalu kenyang, atau tenangnya istirahat jika tubuh tak
pernah lelah. Bahkan kita tak akan pernah tau rasanya dicintai jika tak pernah
hancur bahkan terabaikan.
Namun perihnya, ada individu yang
seperti tak pernah usai perangnya. Ia merasakan kalah begitu banyak. Atau
justru teramat sering menang, namun tak ada tempat untuk berbagi bahagia. Sungguh
ini adalah kondisi yang begitu perih. Bahkan tak jarang ditemui manusia yang
pada akhirnya memilih mundur dari kehidupan. Mengakhiri kehidupannya. Memilih
mati meski belum waktunya.
Karna itulah, kebebasan ini
begitu mahal harganya. Lihatlah dunia dan sekeliling, ternyata bukan hanya
orang yang kurang beruntung yang akhirnya bunuh diri. Bahkan para pemimpin,
juara, idola, dan orang-orang kaya yang telah berkecukupan malah lebih banyak
menjadi korbannya. Korban dari peperangan ke dalam diri untuk mencari
kebebasan.
Oiya ada satu lagi yang diajarkan
kehidupan kepada manusia. Namanya Cinta. Salah satu peperangan terbesar yang
paling banyak mengalahkan manusia. Peperangan yang mampu menghancurkan
sehancur-hancurnya. Namun siapa sangka, semakin banyak kalah, peperangan ini
justru membuat manusia menjadi lebih kuat. Peperangan ini mengajarkan bahwa
kita tidak akan pernah bisa berjalan sendiri, serta tidak akan pernah menang
dalam peperangan manapun jika sendirian.
Menariknya, peperangan ini selalu
melibatkan manusia lain.
Manusia lain yang perlahan akan
mengajarkan kita pada penerimaan. Tentang mengalah. Menerima bahwa kebebasan
itu ada di dalam diri. Menerima bahwa kemenangan itu ada di dalam diri.
Menerima bahwa diri kita yang sekarang itu sudah cukup.
Maka setelah perang, dunia akan
mengajarkan manusia tentang penerimaan. Inilah puncaknya. Masa di mana manusia
berada pada fase terbaik dalam hidup.
Sebab kebebasan yang saya maksud,
ternyata tidaklah datang dari luar. Melainkan dari dalam diri manusia itu
sendiri. Kondisi keluarga, lingkungan, sosial politik, perkembangan manusia,
serta manusia itu sendiri lah yang ternyata menghasilkan belenggu paling
menyakitkan. Membentuk perang yang berbeda-beda bagi setiap manusia. Membentuk
perjuangan yang tidak akan selalu bisa dimengerti oleh manusia lainnya.
Hingga akhirnya. Manusia
menemukan perwujudan cinta yang tepat, yang mendobraknya untuk berdamai dengan
peperangannya sendiri. Menerima peperangan tersebut sebagai kekuatan. Dan
menerima bahwa dinding yang terbentuk itu bukanlah penjara, melainkan kastil
yang melambangkan dirinya. Tempatnya untuk pulang.
…
Setidaknya, itulah yang saya pelajari
dari dunia hingga hari ini. Sesuatu yang baru saja disadari sebab ada manusia
lain yang berhasil mendobrak semua belenggu itu. Belenggu yang beberapa tahun
ini membuatku kalah terlalu banyak, juga terlalu sering merasakan kemenangan dalam
kesendirian.
Saya memanggilnya ia. Wonder
woman di kehidupan nyata. Pemilik mata dan senyuman yang begitu
menenangkan. Caranya merespon dunia dan peperanganku sangat sederhana dan apa
adanya, namun kekuatannya begitu besar. Ibarat matahari yang menyinari
kegelapan, ia membuatku melihat dengan jelas bahwa dalam peperangan itu yang
kulawan adalah diri sendiri. Membunuh sesuatu yang seharusnya kupeluk dengan
erat. Menghancurkan pertahanan yang seharusnya dilindungi.
Ia, manusia lain yang mengajarkanku
menerima beberapa kekalahan untuk memenangkan ribuan lainnya.
0 Comments
Posting Komentar