Akhir April, 2020
Kantor CV Bima Shabartum

Saya ingat dari beberapa minggu lalu, ada satu kebiasaan baik yang mulai tumbuh dalam keseharian. Seperti tidur di bawah pukul 21.00, lalu bangun pukul 03.00 yang dilanjutkan dengan ibadah, olahraga 7 menit, mandi, dan mereview kerjaan sembari menunggu waktu subuh. Kala itu saya merasakan energi positif yang begitu besar mengelilingi diri. Namun ntah kenapa, beberapa hari ke belakang, energinya mulai hilang. Kebiasaannya masih terjaga, namun hanya bangun dan merenung –ntah apa yang difikirkan- hingga mata kembali mengantuk dan menghasut kaki menuju kasur ketika matahari mulai muncul.

Begitu sejak 3 hari yang lalu hingga pagi tadi.

Salah satu video motivasi yang pernah saya tonton sebenarnya sempat bilang gini,”Komitmen dan konsistensi itu belum didapatkan ketika kamu mengerjakan sesuatu secara konsisten setiap harinya dengan penuh semangat saja, namun justru, walau sudah muak dan benci dengan rutinitas itu, tapi kamu terus melakukannya karna sadar itu adalah jalan yang harus ditempuh untuk menuju impian.

Ya, saya sepakat dengan semua itu. Saya juga percaya bahwa manusia akan selalu terbangun di pagi hari dengan perasaan yang berbeda setiap harinya. Belum tentu bahagia yang dirasa pagi ini, akan sama ketika bangun esok hari. Pun begitu dengan kesedihan yang dirasa pagi ini, bisa jadi ia beralih menjadi suasana yang begitu tenang di esok paginya.

Kondisi seperti itulah yang sebenarnya menjadi tantangan. Karna bagaimanapun perasaan saya pagi ini, saya harus terus berlari dan berjuang menggapai mimpi itu. Sesedih apapun pagi ini, saya tidak boleh terlarut sehingga menghentikan semua langkah, sebab matahari akan selalu terbit.

Saya sadar dengan semua itu.

Namun saya sering menemukan diri ini tersesat dan sibuk sendiri dalam fikirannya. Hal yang difikirkan pun sama, semakin bertambah pengalaman dan pemahaman akan karakter manusia, semakin saya merasa kehilangan. 

Di mana posisi saya sebenarnya di dunia ini? Siapa sebenarnya saya di dunia ini? Untuk apa saya bangun setiap hari? Untuk apa saya hidup?

Semakin banyak tahu, justru membuat saya semakin sulit mengenali diri. Semakin mengingat masa lalu untuk mencari garis merahnya, semakin saya menyadari bahwa diri ini selalu berubah. Berbeda orang, tempat, dan ceritanya, berbeda pula karakter yang muncul. Saya seolah melihat orang-orang yang berbeda pada diri ini di masa lalu. Dan saya yang saat ini adalah kumpulan orang-orang di masa lalu itu. 

Siapa aku? Sebegitu hilangnyakah jati diri ini demi menyesuaikan tempat? Atau justru itulah jadi diri saya? Tak memiliki bentuk, namun memenuhi ruang, seperti air.

Saya bukan seorang dengan kepribadian ganda. Saya jaminkan itu. Saya juga sebenarnya tidak gusar dengan perubahan-perubahan itu. Hanya saja, mereka di luar sana selalu saja mengatakan, “temukan warnamu, temukan bentukmu, jadilah dirimu sendiri.”

Lalu, apakah pepatah,”Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” dapat menjadi jawaban bagi orang-orang seperti saya?