30 Agustus 2015               
Indralaya, Sumatera Selatan      
Indonesia

Pernah ga sewaktu duduk sendiri terbesit dipikiranmu sebuah pertanyaan,“Andai saya bisa cepat-cepat ketemu Sang Pencipta, tapi kapan?”

Mereka bilang tipikal orang kayak ini hidupnya bakalan panjang karena bakalan benar-benar dipanggil oleh-Nya waktu kita udah ga lagi sedikitpun kepikiran tentang itu.

Dari situlah saya kepikir buat nulis cerita ini. Cerita buat orang-orang yang ngerasain hal yang sama dengan apa yang saya rasa saat ini. Cerita yang aneh. Cerita tentang orang-orang yang hampir menyerah untuk hidup. Cerita untuk orang-orang yang bahkan belum saya kenal sedikitpun, tapi saya yakin di luar sana pasti ada walau hanya satu orang yang bisa mahamin alasan seseorang yang rindu banget sama kematian yang jelas-jelas banyak orang takut padanya.
          
Pernah juga saya berfikir, mungkin setelah kematian itu kita dihidupin lagi di dimensi lain dengan cerita yang lain. Kita sebut saja namanya Dimensi Baqa. Bedanya dengan dunia fana, di tempat itu kita hidup sebatang kara sebagai pengelana. Sebagai pejuang.

Kita berjuang untuk bertahan hidup di sana dengan bekal sesuai dengan apa yang kita bawa dari dunia sebelumnya dengan tujuan untuk nemuin sebuah pintu yang diidam-idamkan orang-orang di dalamnya. Pintu maaf untuk menuju surga.

Dengan kata lain, setiap orang punya kelebihannya masing-masing selama ia pernah melakukan amal baik semasa hidupnya terdahulu. Karna katanya setiap amal baik sekecil apapun itu pasti ada balasannya, pun begitu untuk amal buruk sekecil apapun pasti ada balasannya. Maka, amal itulah yang akan jadi senjata, logistik, dan teman kita saat berkelana dalam Dimensi Baqa.

           Bila memang seperti itu yang terjadi barulah sayapaham kenapa bila diberi kesempatan, sangat banyak orang-orang mati yang meminta untuk dihidupkan kembali. Alasannya ya sudah pasti mempersiapkan bekalnya untuk berkelana di sana. Terutama ialah shalat, membaca al-qur’an, dan beramal baik.

Karena shalat adalah sebaik-baik bekal yang pernah ada, ia adalah senjata terbaik yang pernah ada. Namun, tidak banyak yang membawanya karena kebanyakan manusia hanya shalat sekedar formalitas bukan totalitas. Hanya kuantitas, bukan kualitas.

Begitupun al-qur’an, ia adalah sebaik-baik sahabat yang pernah ada, ia sangat setia dan akan selalu menemani, juga akan selalu berjuang bersama kita selama berkelana di sana hingga sampailah kita pada pintu maaf yang konon katanya tidak memiliki tempat pasti terkecuali kepada seorang pengelana yang mampu menemukan seorang sahabat yang sangat setia.

Maka al-qur’an lah sebaik-baik sahabat yang pernah ada. Namun, tetap saja tidak banyak orang mampu menemukan sahabat sepertinya karena selama hidup dulu kebanyakan manusia mengabaikan keberadaan al-qur’an yang menanti seorang sahabat yang mau membacanya walau hanya satu kali sehari.

Bagaimana dengan amal baik?

Oh ya, di sana akan banyak sekali kita temukan perbedaan. Keunikan. Keanehan. Karna banyak orang yang tidak memiliki senjata seperti shalat atau sahabat seperti al-qur’an tapi akan banyak sekali orang-orang yang berkelana dengan bekal seadanya namun bekal itu takkan ada habisnya. Terutama bagi mereka yang amalnya terus berjalan meski ia sudah mati. Itulah amal Jariyah.

Amalannyalah yang akan menjadi senjata, sahabat, serta persediaan bekal baginya. Orang-orang ini juga pasti akan menemukan pintu maaf yang dicari, namun prosesnya saja yang sedikit berbeda.

Karena ada orang yang bisa menemukannya secepat orang yang bersahabat dengan al-qur’an, tapi hanya beberapa orang saja.

Selebihnya akan menemukannya dalam waktu yang sedikit lebih lama.

Hal ini bergantung kepada-Nya yang berkuasa untuk memutuskan kapan waktunya sang pengelana akan menemukan pintu tersebut. Karena semua itu berdasarkan perjuangan kita untuk menemukannya.

Yap... itu hanyalah hayalan. Tapi setidaknya itulah alasan yang paling logis buat saya untuk mahamin istilah shalat, membaca al-qur’an, dan amal baik adalah sebaik-baik bekal bagi manusia dari semasa hidup hingga kelak dihidupkan lagi saat kiamat tiba.