Hari ini, ga sengaja saya teringat kejadian malam itu. Setahun yang lalu, sambil menggigil di malam yang dingin di bawah taburan bintang, orang tua asal Liwa itu sedikit bercerita tentang perasaan. Tentang hati. Tentang hal yang mungkin sudah saya lupa rasanya. 

Cinta.

Beliau bilang selama manusia punya hati. Punya perasaan. Artinya sepanjang hidup, cinta bakal kerap kali hadir dan menghampiri. 

Apalagi buat yang masih muda. Kalo kamu bilang cuma pernah punya rasa sama satu orang, itu bohong. Karena perasaan itu mudah banget datang dan perginya. Berkali-kali.

Tapi kamu juga harus tau kalo kita selalu punya pilihan. Cinta yang sebenarnya itupun pilihan. 

Apakah kamu akan memilih untuk mempertahankan satu saja dari semua rasa yang hadir, atau memilih untuk merasakan semua cinta itu datang tanpa mempertahankan dia yang nyatanya mempertahankan rasamu. Hingga akhirnya tersadar, rasanya itu udah terlanjur sirna.

...

Tulisan kali ini mungkin rada melow. Nyangkut tentang perasaan di dalamnya. Karena hari ini semua rasa itu  muncul lagi. Cinta. Perih. Hampa.

...

Seperti resonansi dua benda dengan frekuensi yang sama. Cinta pun terjadi pada dua orang yang hatinya saling beresonansi karena frekuensinya sama.

Setiap orang punya caranya masing-masing untuk mencintai. Ada yang memilih untuk memendam rasanya dan berharap rasa itu tersampaikan dengan sendirinya. Ada pula yang memilih untuk terang-terangan menyampaikan.

Dan cara orang merasai sakit karna takut kehilangan pun berbeda-beda. Ada yang memilih untuk terus terang mempertahankan. Ada pula yang memilih untuk menahan perih karna merasa takut untuk memaksa orang yang dicintainya agar bertahan. Takut bila memaksakan, ia malah kehilangan.

Namun yang jelas, mau terus terang atau memendam, ga ada satupun diantara keduanya yang baik-baik aja waktu tau orang terkasih punya perasaan ke orang lain. 

Yap, ga ada yang senang bila jari teriris sembilu bambu. Ga ada yang tertawa bila kulit tertusuk belati. Dan jelaslah rasa yang satu ini ga akan membekas. Ga ngeluarin darah. Ga merusak permukaan. Namun efeknya bukan sekedar kayak tertusuk belati. Teriris sembilu bambu. Atau tertancap paku di kaki. Ia soal hati. Soal rasa. Ga berbentuk. Ga bisa diliat. 

Tapi bisa menundukkan kepala yang sebelumnya tegak menantang.

Redupkan cahaya yang sebelumnya terpancar indah menghias wajah.

Membungkukkan dada yang sebelumnya busung percaya diri menantang dunia.
Melemahkan langkah yang sebelumnya tegas kelilingi dunia. 

Karnanya pastilah matahari tak lagi cukup bersinar untuk terangi sisi hatinya yang berubah gelap dan dingin. Tarian bintang tak lagi cukup untuk dikagumi oleh wajah yang tersenyum ambar. Dan indah pelangi tak lagi cukup untuk warnai hidup kecuali hitam. Putih. Kelabu.

Tapi ga perlu khawatir. Kehampaan yang menyiksa itu hanya terjadi ke orang-orang yang menyimpan rasa begitu besar. Ia yang memilih bertahan karna rindu. Ia yang memilih bertahan karna butuh. Ia yang memilih bertahan karna nemuin alasan untuk terus pertahanin hidup. 

...

Bila memang harus memilih, maka mencintai dan terus bertahan adalah pilihan yang saya pilih.

Tapi sebesar apapun rasa itu, dicintai bukanlah hal yang patut untuk dipaksakan. Seperti saya yang memilih bertahan, dia pun punya hak untuk memilih. Bertahan atau melepaskan.

Karena cinta itu memberi, bukan meminta balasan. Karena cinta itu harapan, bukan paksaan agar dicintai kembali.