Manusia. Ya, manusia adalah makhluk yang paling spesial di bumi. Begitu unik dengan pemikirannya. Begitu unik dengan rasa hatinya. Begitu unik dengan perbedaannya. Bahkan jelas dari milyaran manusia di bumi ini ga ada satupun yang sama persis. 

Namun seringkali manusia buta oleh pemikiran. Buta oleh persepsi. Buta akan kebenaran. Hingga begitu sering ia tertipu oleh apa yang dianggapnya sebuah kebenaran, ternyata hanya kepalsuan yang dibungkus dengan kerlap-kerlip spekulasi dan manipulasi.

Mungkin manusia lupa bahwa sedari awal mereka hidup di kehidupan yang tidak sepenuhnya nyata.

Bicara tentang persepsi. Ada sebuah kisah menarik dari salah seorang bapak filsuf dunia tentang itu. Plato. Salah satu pemikiran Plato yang populer adalah tentang dunia persepsi  yang dipercaya manusia sebagai kenyataan. Pemikiran tersebut ia abadikan dalam sebuah tulisan berjudul  “ Allegory of the cave”. 


Tulisan ini menggambarkan sebuah ilustrasi.
Tentang beberapa manusia yang seumur hidupnya tinggal di gua dalam keadaan terikat. Mereka ditawan tapi sekaligus diurusi kebutuhan pangannya sehingga tetap bertahan hidup. 

Kebetulan posisi mereka tak jauh dari sebuah api unggun yang sering dilalui. Oleh siapapun. Oleh apapun. Sehingga aktivitas semua makhluk yang lalu lalang bisa mereka lihat dari pantulan bayangannya. Dari proyeksi itulah, gambaran tentang dunia tercipta dalam pikiran mereka masing-masing. 

Sayangnya mereka mengaggap bayangan itulah kenyataan yang sebenarnya.

Suatu ketika, entah bagaimana salah seorang diantara mereka berhasil meloloskan diri. Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat kenyataan yang sebenarnya. Memang di awalnya ia kebingungan dan merasakan guncangan yang luar biasa, namun perlahan ia beradaptasi lalu menyadari dan mulai menerima kenyataan yang sebenarnya. 

Ia baru tahu kalau kehidupan nyata itu lebih indah dan beragam dibandingkan kehidupan bayangan yang pernah ia anggap nyata. Si mantan tawanan inipun bermaksud kembali ke gua tersebut untuk menyadarkan teman-temanya tentang kehidupan sebenarnya yang jauh lebih indah.

Setibanya di gua ia memberi tahu temannya yang masih dalam keadaan tertawan. Akan tetapi, yang ia dapat malah ejekan dan cemoohan. Wajar saja, mereka masih sulit menerima penjelasan tentang dunia. 

Karena persepsi mereka pada kehidupan telah berpaku hanya pada proyeksi bayangan yang selama ini dilihatnya.

Sang mantan tawanan juga kewalahan memberikan penjelasan. Bagaimana mungkin ia menjelaskan seperti apa birunya langit, hijaunya rerumputan, dan warna-warninya buah. Sementara orang yang diberi penjelasan hanya mengenal warna gelap.

Lanjut cerita, karena si mantan tawanan berusaha memberikan pengertian,  para teman tawanannya justru menganggap ia sudah gila dan mengancam akan membunuhnya jika tetap ngotot. 

“Ketika ada satu orang yang waras, dan sepuluh orang gila. Maka sepuluh orang gila akan bersepakat bahwa orang waras itulah yang gila.”

Dalam ilustrasi ini banyak pesan yang bisa kita tafsirkan. Bahwa seperti itulah cuplikan manusia yang terpenjara dalam persepsinya. Mereka sulit menerima perbedaan dan takut menerima perubahan. Mereka merasa nyaman dengan kepalsuan padahal kehidupan yang lebih indah berhamburan di luar gua. Bisa jadi tempat dan suasana, dimana kita sedang berada saat ini adalah comfort zone yang mematikan.

Tapi apakah tawanan yang menolak kebenaran harus sepenuhnya disalahkan? Tidak juga, justru mereka perlu dikasihani atas ketidaktahuannya. Disanalah sulitnya menjelaskan sesuatu yang belum pernah dirasakan oleh orang. Sehingga butuh perumpamaan-perumpamaan yang menjelaskannya.

Siapa yang bisa menjamin, kita ini termasuk tipe orang yang mana? Apakah si pelarian gua?  Ataukah masih tawanan penghuni gua? Intinya, manusia harus terus mengeskplorasi semua indranya agar mudah menerima kebenaran yang sesungguhnya.

Mungkin kitalah sang Tawanan yang diceritakan Plato, kita masih terpenjara dalam persepsi-persepsi pikiran. Itu yang kadang membuat kita menolak persepsi lain sekalipun itu kebenaran. 

Menyadari hal itu, seseorang perlu mananamkan kerendahan hati pada intelektualitas. Tidak hanya  mendewakan pemikiran dan prasangkanya, namun ia juga harus siap mendengar persepsi orang lain. Yang jadi masalah, kita tak tahu persepsi  mana yang harus didengarkan? Bagaimana membedakan siapa yang masih tertawan oleh persepsi dan siapa yang sudah bebas dan telah melihat kenyataan?


Dan satu hal yang pasti mengenai kebenaran adalah kebenaran yang dikatakan hati. Karena kebenaran bukan berarti ketika banyak orang memilihnya. Tapi kebenaran adalah kenyataan yang kita temui setelah mencari. Meski salah. Meski kalah. Meski gagal. Kita sudah tau siapa benar siapa menang dan siapa berhasil dari kepahitan itu.