Maret 2015
Seiring perjalanan
Inderalaya-Pagaralam-Inderalaya
Seiring perjalanan
Inderalaya-Pagaralam-Inderalaya
...Di dalam setiap perjalanan panjang itu selalu ada perenungan ke
dalam diri. Jauh ke dalam diri. Dan tentunya itu jarang banget ditemuin di
bangku kuliah yang monoton...
Bait itu hanya kesimpulan dari
tiap perjalanan demi perjalanan yang terlewat sudah oleh kaki ini. Setiap perjalanan
punya ceritanya tersendiri. Tentu ada letih. Bingung. Takut. Cemas. Perih. Haru.
Rindu. Terpesona. Tawa. Sedih. Bahagia. Syukur. Juga banyak hal yang membuat
hati bergetar. Dan jantung berdegup kencang kegirangan.
Terlepas dari apa yang bergemuruh
di dalam dada, gemuruh dari alampun juga bagian dari cerita-cerita perjalanan
itu. Hujan. Badai. Dingin. Kabut. Gelap. Panas. Terik. Basah. Kering. Jatuh. Luka.
Demam. Juga semua rasa yang sering kali membuat hati mengeluh.
Keluhan hati. Degupan jantung. Luka
di badan. Teman di perjalanan. Semua yang mata saksikan. Dan semua yang hati
rasakan adalah bagian dari perenungan jauh ke dalam diri yang gua eluhkan di
awal.
Dan kali ini perjalanan pun tertuju
ke salah satu tiang pancang bumi yang bertempat di Pagaralam, Sumatera Selatan.
Satu jam seusai shalat Jum’at. Setelah
semua persiapan. Pelepasan. Dan tentunya doa. Benda kotak bewarna orange yang
lengkap dengan 4 rodanya itu siap menemani selama lebih kurang 8 jam
perjalanan. Hingga sampailah kita dikediaman ayah Anton pada satu jam menjelang
hari berganti di dataran tinggi yang cukup dinginnya berdirikan bulu halus
disekujur tubuh. Pagaralam.
Beberapa saat menenangkan mata,
matahari kembali menyapa pagi. Meski teriknya belum cukup untuk hilangkan
menggigil di badan yang biasanya berpanasan di Inderalaya.
Namun tetap saja pagi yang cerah
itu tepat sangat tuk bertemu dan bersahutan dengan teman baru. Ilham namanya. Anak
lelaki asal Pekanbaru yang begitu mencintai perjalanan. Juga perenungan. Maka lengkaplah
personil kita di angka sepuluh.
Seusai berkenalan. Meregangkan
sendi dan tentu dibumbui sedikit tawa. Langkah pertama diambil dengan menaiki
sebuah truk yang berisi beberapa tabung gas di baknya. Dan kami berjejer
diantara tabung-tabung gas itu.
Cukup lama kita terguncang untuk
mencapai titik awal pendakian. Terlempar ke kiri dan ke kanan. Bahkan hal itu berhasil
ngebuat otak berfantasi seolah berarung jeram level tinggi di atas tanah. Ya, mungkin pak sopir lupa kalau di bak
truknya juga ada manusia.
Habis lah fantasi-fantasi itu seketika
teriakan rem truk ngebuat gua terlempar ke bagian depan bak bersatu dengan tabung-tabung gas yang
hanya diam seolah menikmati setiap goncangan.
Secangkir teh. Sepiring nasi
dengan tambahan mie instan, sambal tempe, dan telur goreng menjadi asupan
energi sepanjang perjalanan.
8 jam. Bukan perjalanan
yang singkat. Ditambah lagi hujan. Dingin. Beratnya beban. Ego manusia. Sulitnya
medan. Dan juga hal-hal yang banyak
sangat bisa membuat hati mengeluh. Semakin jauh langkah terlewat. Semakin sulit
medan yang harus dilewati. Semakin kuat hati mengeluh hingga keluarlah
sifat-sifat asli manusia yang bersarang di hati. Apapun itu. Baik-buruknya
tentu akan terlihat. Bahkan sifat-sifat yang belum pernah kita tahu sebelumnya.
Sesungguhnya
dalam pendakian ke puncak tiang pancang bumi itu bukan tentang siapa yang
berhasil mencapai puncaknya. Namun siapapun yang bisa mengalahkan hal-hal buruk
yang bersarang di hatinya. Jadi, jangan
sekali-kali berkata telah menaklukkan gunung. Jeram. Atau apapun itu bila masih
belum bisa mengalahkan keburukan di hati. Bila masih merusak bumi secara
perlahan tanpa di sadari. Bila masih meninggalkan sampah di sembarang tempat di
alam. Dan masih banyak bila-bila-bila yang tentunya menjelaskan betapa egoisnya
manusia.
Ingat kawan! bagaimanapun persiapan dan
kecerdasan manusia, alam takkan pernah ditaklukkan. Alam akan selalu menang. Terutama
ketika alam menyeimbangkan perbuatan kita yang begitu egois.
Di setiap tiang
pancang bumi, puncak adalah bonus. Puncak adalah renungan. Puncak adalah
syukur.
Dan di sinilah
kami bersepuluh dengan rasa syukur yang digambarkan dengan kelegaan di wajah. Di
antara dua puncak Dempo kami mendirikan camp-camp
tempat menghangatkan diri dan menenangkan mata yang lelah. Juga tubuh yang
sudah begitu lelahnya. Meski air tetap saja menyapa. Meski dingin tetap saja di
rasakan di dalamnya.
Banyak cerita
terlontar. Banyak tawa terberai. Juga emosi yang terluap hingga kembali
matahari menyapa bumi di pagi yang sejuknya menggetarkan seluruh tubuh. Mata-hati-otak
hanya bisa terkagum-kagum saat saksikan indahnya fajar di ufuk pagi. Maka kami
putuskan untuk menyaksikan semua di tempat yang lebih tinggi. Puncak merapi
dempo.
Semak-semak
yang disebut kayu abadi. Batu-batuan yang bersusun seolah anak tangga. Dan
hembusan
angin dingin menjadi teman menuju puncak. Sekitar 30 menit berjalan, sampailah
kita di ketinggian itu.
Alhamdulillah. Sejenak terenyuh hati dan
bersyukur dalam renungannya ketika tersadar bahwa sekali lagi kaki diberi
kesempatan menapakkan langkah di tempat ini.
Amboi! Sungguh
semua mata terkagum. Semua hati turut bergetar. Dan mungkin tiada syair yang
lebih indah dibanding syukur di atas sini. Sejenak bersama kita renungkan
perjuangan hingga sampai di atas sini sambil mendengar syahdunya alunan adzan
dari Firman. Salah satu teman yang begitu kerasnya melawan ego diri di
sepanjang perjalanan.
Hidup harus
terus di jalani. Karena itulah seusai merenung dan merekam sedikit momen, kaki
kembali melangkah. Bersiap dan kembali lagi ke kehidupan normal. Tentunya dengan
pribadi yang baru yang telah kalahkan dan tinggalkan hal-hal buruk di hati
menjadi panorama yang turut mengindahkan alam sepanjang mata dan hati terpana
menyaksikan.
Meski langkah
terseok. Meski tubuh melemah. Tetap tidak ada yang bisa melarang senyum dan
tawa terangkai di wajah. Yap. Senyum dan tawa-tawa itulah yang sepanjang
perjalanan menemani kita bersepuluh sebagai siratan rasa syukur dan lega.
Waktu terus
berjalan. Di setiap pertemuan akan ada perpisahan. Maka di sinilah kami semua
bersalaman dengan Ilham. Ada haru dan syukur pada beberapa detik jabatan tangan
itu. Karena meski hanya dua kali bersama-sama melihat bulan, namun banyak
cerita dan perlajaran yang bersama kita dapatkan. Terima kasih Ilham. Lo udah
ngajarin ke kita bahwa kebaikan hati dan keyakinan itu bisa membuat kita
menemukan teman yang tepat. Meski hanya untuk waktu yang singkat.
Tetaplah jadi baik. Kalo beruntung lo bakal
nemuin orang baik. Kalo ga lo bakal ditemuin orang baik.
Kita kembali
bersembilan lagi. Lalu kembali lagi ke tanah Inderalaya untuk teruskan kuliah
esok hari.
Namun entah apa
yang bisa disimpulin. Perjalanan ini kembali mengukir cerita uniknya ketika bus
yang kita naiki hampir meledak saat hendak awali perjalanan pulang. Namun untung
para penumpang sempat keluar dan dengan sigapnya para awak bus memadamkan
kendala.
Kita berpindah
ke bus lain yang ternyata adalah bus yang kita naiki di awal perjalanan ini. Betapa
leganya hati ketika akhirnya mata dan tubuh bisa diistirahatkan sembari mengisi
perjalanan pulang. Namun ternyata ketegangan masih belum habis, coy. Bus kita sempat terhenti di tengah
rel kereta padahal sudah terlihat jelas kereta melaju dengan kencangnya. Ingin maju
tapi terhalang truk barubara. Ingin mundur tapi terhalang truk pula. Oh tuhan! Sempat
pasrah gua saat itu. Namun ternyata sang pencipta hanya ingin bercanda.
Ya. Sungguh bersyukur
hati berucap karena masih bisa cerita ini tersampaikan.
Wow. Cerita sepanjang
inipun belum cukup untuk menceritakan semuanya. Ini hanya cerita yang nantinya
hanya bisa dikenang sebagai sejarah. Sejarah tentang syukur yang terus terucap.
Sejarah yang pernah membuat kulit hitam terpapar sinar matahari. Sejarah pertemuan
singkat namun begitu berarti dengan Ilham. Sejarah tentang salah satu renungan yang
jauh ke dalam hati.
Avanturista. Ketika merenung, seolah gua
mendengar alam berbisik rindu kepada manusia yang dulu peduli dengan alamnya. Peduli
dengan sesamanya. Peduli dengan kata hatinya. Alam benci dengan manusia saat
ini yang mudah sekali kalah dengan ego karena komentar orang disekitarnya. Dulu
manusia juga egois, namun mereka tetap selalu mendengar kata hatinya yang
murni.
Maafkan kami
alamku. Seringkali manusia lupa bahwa ia adalah bagian dari alam dan setiap
kali manusia merusak alam artinya ia telah merusak dirinya sendiri.
0 Comments
Posting Komentar