Hati adalah komponen paling kuat pada manusia. Sering kali hati membisikkan dan menghasut otak tentang apa yang benar. Apa yang harus dilakukan. Ke mana harus melangkah dan sebagainya yang seringkali ngebuat otak bingung. Akibat demikian sucinya hati, terkadang ia suka berilusi.

Salah satunya itu tentang bayang semu, setidaknya istilah itulah yang sering saya sebut. Ia adalah harapan berupa ilusi yang diciptain hati. Indah pada awalnya, namun realitanya ialah perlahan demi perlahan akan memudar dan terus memudar hingga akhirnya benar-benar hilang. Hilang namun menyisakan bintik hitam di hati. Bintik yang ga akan pernah bisa dihapus.

Dan cerita ini adalah tentang bayang semu yang sempat datang. Namun bukan tentang bintik hitam yang sudah menutup hati karnanya yang dieluh-eluhkan itu. Hal ini berbeda.

                Semua berawal dari fajar ketiga di tahun ini, saat sebuah salam merubah hari.

Obrolan singkat di kala itu sungguh membuat hati nyaman. Detik itu pun saya sadar kalo semua hanya ilusi. Bercanda. Bukan apa yang diinginin hati.

Tapi kayaknya hati ga peduli lagi meski itu ilusi. Pelan-pelan hati menghasut otak dan ngisi setiap sisinya dengan  wajah yang bahkan belum pernah bertatap langsung dengannya. Mengingat nyanyian yang bahkan belum sekalipun berbicara padanya. Dan tutur kata yang bahkan belum sekalipun berbincang padanya selain di dunia maya.

Ternyata hati telah memilih. Memilih untuk percaya. Memilih untuk sepenuhnya dipercaya pada dia yang berhasil menenangkan hati yang bergemuruh.

Perlahan saya pun sadar kalo itu bukan ilusi. Bukan bayang semu yang perlahan hilang.

Semakin jauh waktu berjalan, semakin jelas semua terlihat. Sungguh terang. Hingga tak ada satupun yang harus dikhawatirin. Bahwa hati telah menemukan alasannya untuk terus bertahan.

Namun sayang, ternyata sekali lagi saya salah.

Ia memang ga hilang sedikitpun. Jelas. Sungguh jelas. Namun semua terlalu jelas. Terlalu terang sehingga butalah mata juga butalah hati dengan semua kejelasan itu. Dan sekarang saya seolah terdampar di tempat yang dipenuhi cahaya. Buta rasanya tapi bukan gelap saja yang terlihat. Melainkan putih terang sejauh mata memandang. Ga ada apapun selain hamparan putih kosong.

Sekali lagi saya kehilangan segalanya.

Oh tuhan! Apa arti gejolak di dada ini?

Saya sehat. Saya masih bisa tersenyum. Saya masih bisa tertawa. Tapi gejolak di dada rasanya aneh. Rasanya begitu tenang dan tenteram. Harusnya peristiwa menyakitkan malam itu menyiksa hingga membuat detak jantung tak beraturan. Tapi ini malah sangat-sangat tenang detaknya.

Sangat tenang hingga otak terlena akan truk yang melaju kencang berhadapan, juga pada nafas dan tenaga yang hampir habis ditengah danau, ataupun tebing yang tinggi tanpa takut terjatuh padahal sedikit saja terlambat berpegangan, mungkin tulisan ini ga akan pernah ada.

Tapi mungkin Izrail masih berkata,’Belum saat ini kita harus berpegangan.’

Ya... sepertinya ketenangan itu membuat otak terlena akan maut yang beberapa kali begitu dekatnya seusai malam itu.

Oh tuhan !

Meski ia ucap karena ingin menjadi mulia dihadapanmu dan saya pun ikhlas menerimanya, namun sepertinya sekaligus hal itu mematikan hati yang saya percayakan seutuhnya padanya. Karna saat bersamaan, diapun meminta saya untuk melupakan dan menyimpan semua rasa yang saya punya. Mungkin dia ga tau, kalo semua rasa itu ada karna hati menjadi begitu hidup padanya. Tapi sekarang, mungkin hati itupun sudah mati.

Dan sekarang, sepertinya saya pun telah kembali ke masa di mana jiwa tak peduli lagi pada raga tempatnya bersemahyam. Jiwa pun seolah sengaja agar ia tak lagi terikat raga.

Sepertinya jelaslah kenapa dada dan jantung begitu tenang adanya. Karna hati yang mampu merasakan itu sudah ga ada lagi. Mungkin saya saat ini hanya raga kosong yang tak lagi berhati dan jiwa.

Maaf, harusnya semua ini ga pernah di mulai. Mungkin ini jawaban dari-Nya. Saya memang sedikitpun ga pantas buat kamu.

Ya. Saya tau ada yang lebih leluasa mengatur hati. Mungkin bila kita berjumpa lagi nanti. Saya bukan lagi orang yang kamu kenal.