Orang tua itu pernah cerita tentang cinta. Ia bilang, cinta itu sama seperti mendaki gunung. Karena dari atas sana banyak yang belajar bahwa cinta itu bukan soal wajah atau tentang keindahan yang terlihat dari kejauhan. Juga bukan tentang argumen indah yang disampaikan oleh sang pujangga melalui syair-syairnya. Ataupun lukisan indah hasil khayalan sang pelukis buta.
Tapi cinta itu tentang rasa.
Ialah tentang langkah yang ditapaki seorang pendaki untuk melalui jurang, tebing, dingin, bahkan luka akibat duri dari semak belukar dan pepohonan yang ia lalui. Cinta bukanlah siksaan!
Tapi cintalah hal spele yang kuatkan sang pendaki untuk menggapai puncaknya. Meski jalan yang dilalui tak seindah dan semulus yang dilihat dari kejauhan. Meski jalannya tak selalu seindah syair sang pujangga, juga tak selamanya semenakjubkan khayalan sang pelukis buta.
Bukankah cinta itu artinya bila alasan mencintai itu telah hilang, kita akan tetap menerimanya dengan sepenuh hati?
Bila kemudian hilang perasaan cinta ketika alasan mencintai telah hilang. Mungkin itu bukan cinta, itu hanya kagum. Kagum akan alasan yang dimiliki.
Bagaimanapun rupanya, suaranya, segala tentangnya, selama tidak ada yang berubah dari hati. Cinta pun ga akan pernah berubah. Terkecuali kalo kita hanya mencintai parasnya, suaranya, atau apapun alasan untuk mencinta.
Karena cinta itu ga akan pernah punya alasan.
"Cinta akan dirasakan oleh dua orang yang hatinya memiliki frekuensi sama. Karena ketika itu terjadi, kedua hati itu akan terus beresonansi."
0 Comments
Posting Komentar